Senin, 20 Februari 2012

Cerita Rakyat Sungai Kerbau

Disebelah Timur Kota Samarinda, kurang lebih sepuluh kilometer(arah ke hilir pinggir Sungai Mahakam), terdapat sebuah kuburan yang dianggap keramat oleh penduduk. Kuburan ini terletak di sungai kecil bernama Sungai Kerbau(anak Sungai Mahakam).
 Pada hari-hari libur tempat ini dikunjungi banyak orang untuk berekreasi, bernazar, atau membayar hajat mereka.. tapi sekarang jarang ada orang yang datang ketempat ini.
Dulu di sekitar kuburan itu terdapat banyak kera. Menurut cerita, jika kita di kerumuni kera saat bernazar ditempat itu maka nazar kita akan terkabul. Sekarang melihat kera pun susah karena hutan banyak ditebang sama warga.
Sekarang Kita ke cerita sebenarnya(versi saya)
Konon, beberapa abad yang lalu berdirilah sebuah kerajaan bernama Kutai Kartanegara. Ibu kotanya bernama Tepian Batu, yang kelak akan berubah namanya jadi Kutai Lama.
Pada pertengahan abad ke-13 Masehi, kerajaan ini di perintah seorang raja bernama Aji Maharaja Sultan yang bertahta di Kerajaan Kutai Kartanegara. Ia merupakan Sultan Kutai Kartanegara ke-3 yang memerintah dari tahun 1360 hingga 1420 Masehi.
Raja mempunyai cita-cita tinggi dan kemauan besar. Baginda bermaksud menyatukan kerajaan-kerajaan di sekitar Mahakam seperti Kutai Martapura, Sri Bangun, Sri Muntai, Tanjung, dan Bahau agar berada di bawah kekuasaan Kutai Kartanegara.
Satu per satu kerajaan-kerajaan iru dapat dikuasai dan disatukan. Cita-cita sang Sultan pun terkabul dan Kutai Kartanegara menjadi kerajaan yang makmur dan sejahtera. Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah, kerajaan ini juga mendapat upeti dari kerajaan-kerajaan yang ditaklukan.
Suatu hari, Aji Maharaja Sultan bermaksud memperindah kota kerajaannya. Ia juga ingin istananya dihiasi dengan ukiran yang indah dan halus. Untuk itu, ia pun mengumpulkan para pembesar kerajaan untuk membicarakan niat tersebut. Dalam sidang itu, Pangeran Mangkubumi mengusulkan agar Baginda Aji Maharaja Sultan mendatangkan ahli pahat dari Jawa.
Utusan berangkat ke Tanah Jawa. Setiba di sana, para utusan itu langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada Raja Jawa. Raja Jawa pun berkenan mengirimkan dua orang pemahat ulung(kakak beradik) ke Kerajaan Kutai.
Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, kedua pemahat yang kakak-beradik tersebut akhirnya tiba di Kerajaan Kutai Kartanegara. Mereka pun disambut baik oleh Baginda Aji Maharaja. Raja pun meminta motif seni ukir Kutai, Bahau, Kenyah, dan Tunjung dipadukan dengan seni ukir Jawa. Pemahat pun mengerjakan apa yang ditugaskan kepada mereka.
Konon, kedua pemahat itu dibantu oleh kekuatan gaib sehingga dalam waktu singkat seluruh pekerjaan dapat mereka selesaikan dengan baik. Raja terpesona menyaksikan keindahan dan keagungan istananya. Sebagai ucapan terima kasih Raja pun memberikan hadiah yang sangat banyak, sebagai tanda penghargaan kepada mereka. Selain itu, mereka diizinkan tinggal di lingkungan istana ditengah-tengah keluarga raja.
Sebagai abdi dalem, kedua pemahat itu sangat tahu dan selalu menjaga adat beraja dan tata krama istana. Baginda Aji Maharaja pun semakin perhatian kepada mereka.
Sudah menjadi hal biasa bahwa di kalangan pembesar-pembesar istana terjadi persaingan serta perebutan kedudukan dan kekuasaan. Segala keramahan, penghargaan, dan pemberian hadiah Baginda raja kepada kedua pemahat dianggap berlebihan oleh pejabat istana yang lain.
Mereka merasa disaingi dan di nomorduakan oleh Baginda Raja. Timbullah rasa dengki, iri dan benci kepada kedua pemahat itu. Mereka memutuskan akan menyingkirkan keduanya, tetapi tidak ada alasan kuat yang dapat diajukan kepada Raja.
Mereka pun menuduh kedua pemahat itu telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap dayang-dayang istana. Tanpa pikir panjang Baginda Rajapun memutuskan akan mengusir kedua pemahat tersebut dari istana. Namun, para pejabat yang dirasuki rasa iri justru mengusulkan hal lain.
Para Pejabat mengusulkan kedua Pemahat itu dihukum mati, karena jika Pemahat tersebut dibiarkan hidup maka bisa membuat ukiran yang lebih bagus dari kerajaan Kutai. Sudah jadi kebiasaan raja-raja besar bahwa mereka tidak mau kerajaannya disaingi. Karena keahlian dan kefasihan para Pejabat membuat Raja terpengaruh dan percaya. Oleh karena itu, Baginda Raja pun menjatuhkan hukuman mati kepada kedua Pemahat tersebut.
Kedua Pemahat tersebut pun ditangkap dan diadili, akan tetapi salah seorang pemahat berhasil lolos dengan ilmu. Malang nasib pemahat yang satunya karena ia akhirnya mati di tiang gantungan. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia sempat mengucap kata-kata kepada Baginda Aji Maharaja dan para pejabatnya. Konon, ia berkata "sepuluh hancur luluh, sebelas jadi alas"
Menurut ahli ramal istana, maksud kata-kata pesan pemahat di atas adalah bahwa pada pemerintahan raja ke-10, Kutai Kartanegara akan hancur dan pada pemerintahan ke-11, ibukota kerajaan itu akan menjadi alas atau hutan. Perkiraan ahli ramal tersebut ternyata benar. Pada masa pemerintahan Aji Sultan Aliyiddin (sekitar tahun 1752 M), Kerajaan Kutai Kartanegara hancur diserang oleh perampok yang dikenal Bajak Sulu Kebuntalan dari Filipina Selatan yang dipimpin Dato Tan Perana. Setelah itu, ibukota kerajaan pun menjadi alas atau hutan yang kini menjadi sebuah kampung kecil bernama Kutai Lama.
Mayat si pemahat yang dihukum mati dibuang ke Sungai Kerbau. Ajaibnya, mayat itu tidak hanyut ke arah hilir mengikuti aliran sungai, melainkan hanyut ke arah hulu muara sungai dekat Kota Samarinda. Itulah sebabnya, Sungai Kerbau dianggap keramat. Oleh penduduk setempat, mayat si pemahat itu dibuatkan makam di tengah-tengah sungai. Hingga kini, makam itu dikeramatkan dan hampir setiap tahun dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seorang penguasa hendaknya lebih bijak dan teliti sebelum menerima laporan dari bawahannya. Laporan itu harus terlebih dahulu diselidiki kebenarannya, karena kurang teliti dalam menerima laporan Raja Aji Maharaja Sultan telah menghilangkan nyawa seseorang yang justru telah berjasa kepadanya. Selain itu, sifat iri dan dengki para pejabat istana merupakan sifat tercela yang tidak boleh ditiru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar